Rabu, November 19, 2008

KAMPUNG TUGU, CAGAR BUDAYA DIAMBANG PUNAH

MESKI lokasinya di ibukota Jakarta, pusat pemerintahan, pusat perputaran uang, pusat kebudayaan namun soal kepedulian terhadap pelestarian warisan budaya, nampaknya masih sangat rendah. Buktinya, Kampung Tugu di daerah Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, kurang mendapat perhatian serius.
Warisan budaya kolonial Portugis yang menjadi salah satu cagar budaya Indonesia, kini kondisinya terawat namun keberadaanya terabaikan dan tidak terjaga dengan baik. Yang menyedihkan lagi, salah satu cagar budaya bangsa Indonesia sudah diambang kepunahan. Menyedihkan memang.
Peninggalan yang masih kokoh sebuah Gereja Tugu yang berusia 260 tahun, yang tetap sesuai aslinya. Juga ada kuburan orang-orang keturunan Portugis, yang juga terabaikan. Selain itu, akses jalan ke kampung Tugu amburadul.
Kampung Tugu sekarang dihuni oleh masyarakat yang heterogen dan warga keturunan Portugis menjadi bagian di dalamnya. Mereka sekarang berada di tengah-tengah permukiman penduduk yang berasal dari berbagai suku dan agama. Tidak terelakkan lagi, saat ini mereka sudah menjadi warga minoritas di kampung sendiri.
Orang Tugu atau warga asli Kampung Tugu, telah menjalani kehidupan lebih dari tiga setengah abad, sejak pertengahan abad ke-17, saat Jakarta disebut Batavia dan menjadi kota pusat kekuasaan perusahaan dagang Belanda di Hindia Timur (VOC).
Nenek moyang orang Tugu adalah orang Portugis dari Malaka. Mereka dibawa ke Batavia sebagai tawanan perang, setelah pasukan VOC merebut kota pelabuhan di Semenanjung Melayu itu dari tangan Portugis pada 1641.
Menurut catatan sejarah, tawanan perang yang diangkut pulang ke Batavia dari Malaka ketika itu berjumlah 23 keluarga atau 150 jiwa. Sebagian besar merupakan orang-orang berdarah campuran, hasil perkawinan lelaki Portugis dengan perempuan lokal asal berbagai daerah koloni Portugis di Asia, seperti Malabar, Kalkuta, Surat, Pantai Koromandel, Goa, dan Ceylon (Sri Lanka), serta dari Malaka sendiri.
Di Batavia, mereka dimukimkan oleh Kompeni Belanda di daerah Tugu, sekiar 20 kilometer sebelah tenggara kota pelabuhan itu. Tugu ketika itu masih berupa kawasan hutan dan rawa-rawa yang merupakan sarang nyamuk malaria dan berbagai sumber penyakit lain. Di sana mereka berusaha bertahan hidup dengan berburu binatang liar, menangkap ikan, dan mengumpulkan hasil hutan.
Setelah memeluk agama Kristen Protestan, agama resmi Kerajaan Belanda, mereka yang awalnya beragama Katolik dibebaskan dari status sebagai tawanan perang. Itu sebabnya, mereka disebut de mardijkers atau orang merdeka. Sebuah gereja dibangun bagi mereka yang bersedia menghapus nama-nama keluarga Portugis, dan menggantinya dengan nama-nama Belanda.
Populasi orang Kampung Tugu kini diperkirakan sekitar 1.200 jiwa. Kurang-lebih separuhnya, yakni 300 orang, masih tinggal dan bekerja di Kampung Tugu, terutama di sekitar gereja tua mereka.
Sekitar 500 orang Tugu lainnya kini tinggal di Belanda. Mereka adalah keturunan orang-orang Tugu yang tahun 1950 melakukan eksodus ke Hollandia (Jayapura, Papua), sebelum kemudian bemigrasi ke Belanda lewat Suriname . Sisanya sekitar 100 orang saat ini bermukim tersebar di berbagai daerah lain di Indonesia, termasuk di Jayapura.
Di mana pun mereka berada, orang-orang Tugu merasa bersaudara satu dengan yang lain. Pertautan darah, kesamaan sejarah, serta ikatan kebudayaan merupakan hal-hal yang selalu dapat menyatukan pikiran dan perasaan mereka.
Masyarakat Kampung Tugu kini ikut menjadi bagian dari masyarakat Jakarta yang majemuk. Warisan kebudayaannya yang khas, termasuk musik kroncongnya, dianggap sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan nasional yang tak ternilai harganya.
Di saat pemerintah sedang gencar-gencarnya menjadikan Indonesia sebagai tempat kunjungan wisata (Visit Indonesia Year), Kampung Tugu yang sering didatangi turis asing, justru terabaikan. Tidak ada iktikad baik dari pemerintah untuk mengembangkan Kampung Tugu sebagai salah satu objek wisata sejarah yang patut dibanggakan. (ENDY)

Tidak ada komentar: