Kamis, Desember 25, 2008

TINGGI ORANG INDONESIA BERWISATA KE LUAR NEGERI

ASOSIASI Profesional Pariwisata Indonesia (ASPPI) prihatin masih banyak orang Indonesia yang berwisata ke luar negeri, ketimbang melakukan perjalanan wisata ke negerinya sendiri. Padahal, pariwisata Indonesia tak kalah menariknya dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Singapura, Thailand dan Australia.
''Karena itu, ASPPI terus berjuang mempromosikan pariwisata Indonesia agar warga Indonesia lebih mencintai wisata nusantara. Memang mengunjungi daerah di bumi pertiwi ini, akan lebih mengenal budaya, adat istiadat serta dapat menjalin persatuan kesatuan antar suku di daerah,'' tutur Riyan Bahriyansyah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Profesional Pariwisata Indonesia (ASPPI) di Jakarta.
Di samping, sambung Riyan, bila berkunjung ke obyek wisata di daerah, maka ekonomi daerah itu akan semakin tumbuh maju sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. ''Tapi yang paling penting, kita akan semakin tahu kekayaan panorama Indonesia. Juga dapat memperkaya pengetahuan tentang Indonesia yang begitu luas ini,'' tambahnya.
Dijelaskan, ASPPI merupakan pekerja pariwisata yang berada di barisan terdepan dan berhubungan langsung dengan para wisatawan. "Misalnya yang semula mereka tidak ada minat untuk mengunjungi suatu daerah, karena penjelasan kami akhirnya mereka berminat untuk mengunjungi daerah pariwisata di daerah yang dipromosikan," jelasnya.
Selain itu, ASPPI yang memiliki media portal terus menyebarkan informasi tentang berbagai destinasi yang ada di tanah air ini. Bahkan ASPPI terus melakukan mailing list dengan seluruh anggota ASPPI tentang perkembangan pariwisata nusantara. Anggota ASPPI yang berjumlah 900 orang se Indonesia, dimana 80 persennya adalah Biro Perjalanan Wisata (BPW) dan sisanya kelompok pengajar, dosen pariwisata, hotel, restorant dan airlines.
''ASPPI juga aktif melakukan mailing list kepada simpatisan yang ada di luar negeri untuk terus mengibarkan bendera agar mau berwisita di Indonesia. Juga menginformasikan kepada turis asing yang sudah berkunjung ke Indonesia agar bisa melakukan kunjungan ulang atau repetead guest ke Indonesia,'' tandasnya.
Riyan mengakui program ASPPI saat ini masih melakukan hubungan pendekatan dan kerjasama dengan Pemda-pemda yang memiliki obyek wisata namun tidak tahu caranya bagaimana mempromopsikan dan menjual obyek wisatanya.
Apa target dan harapan yang ingin dicapai ASPPI? ''Terus terang, obyek wisata kita tak kalah dengan Malaysia, Vietnam dan negara tetangga lain di ASEAN. Namun, kenapa negara tetangga itu bisa hidup dari pariwisata sementara Indonesia yang kaya obyek wisata ternyata tak mampu seperti mereka. Kita tak mencari siapa yang salah tapi mencari dimana letak kesalahan itu, dan ASPPI berusaha keras untuk mencari jalan keluar untuk mengatasinya,'' kata Riyan dengan nada diplomatis. (endy)

GEDUNG CAGAR BUDAYA DI JAKARTA, SIAPA PEDULI???

NASIB gedung-gedung tua peninggalan sejarah yang tersebar di Ibukota, semakin merana. Selain tak terawat dengan baik, kondisinya juga tak sempurna. Yang menyedihkan lagi, satu persatu cagar budaya itu pindah tangan. Di tangan pemilik baru, bangunan asli dibongkar dan dibangun sebuah bangunan gaya modern yang menghilangkan nilai-nilai sejarah, menghilangkan landscap masa lalu, mengilangkan budaya.
Sudah banyak contoh soalnya, salah satunya bangunan rumah tua di kawasan Palmerah, yang bersebelahan dengan Gedung Kompas. Dimana ada sebuah rumah tua milik orang Tionghoa, yang dulu ada papan nama cagar budaya yang dipatok Pemda Jakarta Selatan. Namun kini bangunan dijual dan dibongkar total, lalu dibangun gedung baru dengan nama Gedung Pers Pancasila. Sengaja memakai lebel pers dengan asumsi tak ada yang berani memasalahkannya, mengutik-utiknya.
Begitu juga di kawasan Jalan Hayamwuruk, Gajahmada dan kawasan kota, dimana gedung-gedung tua itu berubah konsep gaya masa lalu. Ada yang bagian depannya sudah dirombak, ada yang sudah dibongkar, ada yang ditutupi papan reklame, ada yang dibiarkan kumuh, ada yang dipagar seng, ada yang ditempel pengumuman dijual. Ada-ada saja ulah manusia yang tak pernah menghargai peninggalan sejarah, tak pernah memiliki jiwa melestarikan, tak pernah bersyukur dengan era masa lalu.
Keserahkahan, ketamakan, ketidakpedulian, kehilangan jiwa patriotisme memang kini sudah mengangkar kuat di era kapitalisme. Masa lalu sudah dianggap dari bagian perjalanan hidup yang tak berlaku lagi di era masa kini. Indikasi ini memang tak berlebihan malah semakin kuat dengan hilangnya gedung-gedung tua peninggalan sejarah. Lalu siapa yang peduli?
Sejarahwan, hanya bisa komentar tanpa bisa berbuat banyak. Swasta jelas tak diharapkan lagi, kepentingan bisnis diutamakan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Dan ada posisi tawar menawar yang dikedepankan, menguntungkan atau tidak? Prospek atau proyek buang-buang uang? Pokoknya banyak pertimbangannya lah. Karena itu ya jangan berharap.
Pemerintah, naga-naganya juga susah dengan alasan klasik yakni anggaran terbatas mana mungkin uang negara dibelikan aset bangunan tua yang tak jelas peruntukannya, apalagi hanya untuk melestarikan wah jauh dari harapan. Juga mau ditukar guling, juga gulingnya siapa? karena swasta pasti melihat ada prospeknya nggak, boleh dibongkar nggak, ada nilai hong shuinya yang baik tidak? ya pokoknya banyak pertimbangan.
Jadi, bagaimana melestarikan bangunan peninggalan sejarah itu? mungkin salah satu solusinya ya meringankan pajak bagi pemilik gedung-gedung tua di Ibu Kota. Tujuannya, agar pemilik gedung terdorong melakukan perawatan terhadap gedung-gedung yang tergolong bangunan cagar budaya. Pemilik gedung bisa menyisihkan anggarannya untuk membeli cat, membeli paku, membeli pembersih lantai, membeli pengharum ruangan, membeli setangkai pohon agar tambah hijau, membeli apa sajalah yang untuk melestarikannya.
Keringanan pajak sebagai insentif memang selayaknya sudah diberikan. Memang pernah ada keinginan kuat untuk meringankan beban pajak bagi pemilik bagunan tua. Sayangnyam keinginan itu terkendala UU perpajakan yang belum memungkinkan. Padahal, keringanan pajak itu juga untuk merangsang para pemilik gedung tua untuk melakukan perawatan, sehingga pelestarian bangunan cagar budaya bisa terus dilaksanakan.
Solusi lainnya butuh langkah kreatif, profesional ditambah sentuhan jiwa seni tinggi untuk mengelola bangunan tua menjadi obyek wisata. Juga kepedulian biro perjalanan wisata (BPW) untuk peduli memasarkan obyek wisata peninggalan sejarah.
Di negara kapitalis seperti Singapura, Jerman, Italia, Inggris, Jepang dan negara lain di Eropa, eksestensi bangunan tua cagar budaya benar-benar dilindungi, benar dimanfaatkan untuk menjadi destinasi, benar-benar dilestarikan, benar-benar diatur dengan undang-undang yang sangat ketat. Dan masyarakatnya memiliki kesedaran yang tinggi untuk melindunginya. Bagaimana dengan kita? (endy)

Jumat, Desember 19, 2008

PERDAGANGAN KERA DIIZINKAN

SIAPA mau pelihara kera ekor panjang (Macaca fascicularis)? Dulu hewean lucu ini memang dilindungi, namun aturan baru yang dikeluarkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam di Sumatera Barat mengizinkan perdagangan kera ekor panjang. Bahkan, kuota kera ekor panjang di Sumatera Barat yang boleh ditangkap tahun ini mencapai 1.500 ekor.
“Tapi kami baru mengizinkan seratus ekor yang tertahan di Pelabuhan Merak, Banten, Selasa (16/12) dan akan dibawa kembali ke Padang,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat Indra Arinal, Jumat (19/12).
Indra mengatakan, Dinas Kehutanan telah mengeluarkan kuota 1.500 kera ekor panjang di Sumatera Barat yang boleh ditangkap. Tingginya kuota tersebut sesuai dengan tingginya populasi monyet di provinsi tersebut.
“Ada perusahaan farmasi yang mengajukan izin, yang menangkap masyarakat dan menjual ke perusahaan itu. Kera yang ditangkap merupakan hewan liar yang umumnya banyak mengganggu perladangan masyarakat,“ katanya.
Untuk menentukan kuota kera ekor panjang yang boleh ditangkap harus melalui persyaratan yang panjang, di antaranya memiliki rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penangkapan kera ekor panjang, menurut dia, dilakukan di kawasan Bungus, Teluk Kabung.
Di Sumatera Barat sebenarnya jarang ada laporan kera yang menggangu perladangan, bahkan kera di pinggir-pinggir hutan sering menjadi objek wisata seperti di Lembah Anai dan di Teluk Bungus.
Dua tahun terakhir kera di kawasan itu sudah jarang terlihat. Padahal di Teluk Bungus dulunya keberadaan puluhan kera menjadi objek wisata yang dikelola masyarakat dan menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat yang menjual kacang rebus untuk makanan kera kepada pengunjung. (tmp)

Selasa, Desember 16, 2008

PULAU PASIR TIMBUL TERANCAM HILANG

PULAU Pasir Timbul memang agak asing bagi para penggemar wisata bahari, namun pulau yang luasnya tersisa hanya sekitar 60 m2 itu memang sangat mempesona dengan paparan pasir putihnya di tengah kawasan Teluk Lampung.Pulau Pasir Timbul memang tidak seterkenal tempat wisata bahari lainnya di Lampung, seperti Pasir Putih dan Gunung Karaktau, namun pesona alam dan baharinya tidak kalah menarik.Para nelayan yang biasanya menangkap ikan di kawasan Teluk Lampung, termasuk di perairan Pulau Pasir Timbul, menyebutkan pulau itu hanya muncul pada pagi menjelang siang hari, dan akan tenggelam saat pasang naik.Jadi, pulau yang dipenuhi hamparan pasir itu kadang muncul, kadang tenggelam, sehingga para nelayan setempat menyebutkan namanya Pulau Pasir Timbul. Artinya, hanya paparan pasir putih yang tampak saat pasang air laut surut pada pagi hari.Pulau itu bisa dijangkau dari Pantai Hanura, Kabupaten Pesawaran, dengan perahu motor selama 20 menit perjalanan. Sekitar 50 meter menjelang pulau itu, tinggi air laut pada pagi hari hanya sebatas lutut, sehingga pengunjung sering memanfaatkan kondisi itu untuk berjalan berkeliling sekedar melihat terumbu karang atau ikan- ikan kecil dan binatang laut lainnya, seperti bintang laut dan kepiting.Saat matahari pagi mulai terbit dan kondisi air sedang hangat, banyak pengunjung yang memanfaatkan kesempatan itu untuk berenang dengan menggunakan kacamata khusus untuk melihat ikan- ikan yang berenang di terumbu karang, yang banyak berkembang di sekitar perairan pulau tersebut.Ikan "Nemo" yang paling banyak diminati anak-anak dan para remaja, karena warnanya yang paling mencolok di antara ikan-ikan lainnya yang terdapat di terumbu karang Pulau Pasir Timbul.Karena masih belum terkenal, Pulau Pasir Tenggelam tidak ramai dikunjungi orang, sehingga kondisi pasir, terumbu karang dan hewan laut yang ada masih relatif terjamin. Jika sebagian pengunjung pulau itu "berburu" ikan hanya sekedar menikmati keindahannya saja, di pantai pulau itu ternyata juga terdapat berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti udang pasir (Thenus orientalis).Selain udang pasir adalah udang windu, udang jerbung, udang putih, udang raja, udang kembang, udang dogol, udang api-api, udang pasir dan udang karang (lobster). Namun kini, populasi udang pasir dan ikan di Teluk Lampung juga berkurang, karena pencemaran di teluk itu semakin meningkat. JUga nasib "keindahan" Pulau Pasir Timbul, terutama pesona paparan pasir putih dan terumbu karangnya, juga ikut rusak jika pencemaran di Teluk Lampung tetap meluas.Pencemaran akibat sampah organik dan nonorganik, perusakan terumbu karang, penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, serta perusakan hutan bakau, merupakan ancaman utama atas seluruh objek wisata bahari di wilayah Provinsi Lampung.Lebih dari 18 persen terumbu karang di Teluk Lampung dan sekitarnya saat ini telah mati. Antara empat hingga 28 persen terumbu karang di kawasan itu tertutup pasir, sementara 0,6 hingga 45 persennya pecah atau bentuk morfologisnya sudah tidak utuh lagi.Kawasan hutan bakau di pantai itu juga hampir punah.Berdasarkan data Pemdaprov Lampung, areal hutan bakau di pantai Lampung sepanjang 270 Km, dan kerusakannya mencapai 80 persen tahun 2007.Seiring kerusakan lingkungan yang semakin besar di pesisir dan kawasan Teluk Lampung, Pulau Pasir Timbul agaknya hanya menunggu waktu untuk lenyap dan menjadi "kenangan semata", karena pulau itu terus tergerus air laut dan terumbu karangnya semakin rusak. (a)

Jumat, Desember 12, 2008

POPULASI BADAK PUN MENYUSUT

POPULASI Badak di Indonesia terancam punah. Penyusutan hewan yang dilindungi itu, akibat pemburuan liar yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab yang motivasinya hanya untuk kepentingan kekayaan pribadi.
Selain ulah pemburu liar yang ‘bermuka badak’, punahnya Badak di Indonesia akibat dari lemahnya petugas dalam melakukan pengawasan, pengamanan dan perlindungan satwa yang dilindungi itu. Juga kepedulian masyarakat di sekitar hutan terhadap hewan ini, kurang mendapat perhatian serius.
Diperkirakan populasi Badak Sumatera kini hanya tinggal antara 250 sampai 300 ekor. Satwa bertubuh tambun berkulit keras itu, terkonsentrasi di Taman Nasional Gunung Lauser dan Bukit Barisan.
Padahal, lima tahun lalu jumlah populasi Badak Sumatera yang ada di sejumlah Taman Nasional di Pulau Sumatera mencapai 600 sampai 700 ekor. Dan penyusutan yang tajam disinyalir setiap bulan terjadi pemburuan illegal sebanyak 40-50 ekor.
Begitu pula Badak Jawa Bercula Satu di Taman Nasional Ujung Kulon diperkirakan populasinya terus menyusut. Padahal tahun 2007, populasi badak bercula satu mencapai 50 ekor. Namun kini jumlah sebanyak itu disinyalir sudah tidak lengkap lagi.
Jika badak Indonesia mengalami kepunahan, menghilang, menyusut jumlahnya, maka kondisi ini jelas berdampak buruk bagi Indonesia, yang dimata duniaakan dianggap sebagai negara yang tidak mampu melindungi satwa yang dilindungi, tidak becus melestarikan satwa yang selalu hidup menyendiri. tidak serius menyelematkan satwa yang selama ini hidup bebas di alam belantara dan tidak awas dalam pengawasan dan pengamanan badak Indonesia. (endy)

Kamis, Desember 04, 2008

ATRAKSI WISATA MAKIN DIJAUHI WISATAWAN

SOROTAN PARIWISATA :


BERBAGAI atraksi wisata yang digelar di berbagai daerah penjuru tanah air, terancam tidak akan digelar ulang malah akan berantakan dan bisa jadi terpasang di kalender event wisata nasional namun tak jelas kapan pelaksanaanya.
Pasalnya, atraksi wisata yang diharapkan menyedot wisatawan lokal, nasional sekaligus mengharapkan kedatangan wisatawan internasional, ternyata berubah seratus delapan puluh derajat.
Jumlah pengunjung atau wisatawan lokal yang datang menyaksikan atraksi itu terus berkurang, kurang memuaskan dari sisi pengunjungnya. Begitu juga wisatawan nasional pun tak kelihatan batang hidungnya dan jika ada paling-paling undangan panitia yang mendapatkan fasilitas. Apalagi wisatawan mancanegaranya jangan harap datang. Menyedihkan memang.
Pantauan Wisatanews selama tahun 2008, seperti Festival Krakatau di Lampung, Festival Musi di Palembang, Gebyar Wisata Banten di Tanggerang, Festival Singkawang Kalimantan Barat dan terakhir Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci di Jambi, kondisinya memprihatinkan dari sisi pengunjung, wisatawan.
Meski atraksi digelar secara gratis, namun tidak semarak lagi dari sisi pengunjungnya. Sepi. Tak ada perhatian, apakah sudah dijauhi masyarakat yang kategori wisatawan lokal? Memang itulah kondisi yang ada di masyarakat kita sekarang ini.
Sepinya pengunjung wisatawan lokal, terjadi karena berbagai alasan. Umumnya atraksi wisata itu terkesan monoton, membosankan, menjenuhkan karena tidak ada variasi sajian yang menarik. Juga, tak ada atraksi yang membuat ketertarikan orang untuk ketagihan datang.
Monoton lantaran atraksi yang disajikan tahun ini, seperti penyajian tahun-tahun sebelumnya bahkan malah lebih jelek lagi. Membosankan karena sebelum atraksi wisata digelar, sambutan panitia, kepala daerah sampai menteri yang dinilai sangat panjang dan makan waktu. ''Ini atraksi wisata atau kampanye pejabat mendekati pemilu,'' celetuk seorang pengunjung saat menyaksikan pembukaan Festival Krakatau di Lampung.
Menjenuhkan lantaran atraksi wisata ya itu-itu saja. Buktinya, pada Festival Krakatau tarian yang ditampilkan semuanya hampir tari topeng, apa tak ada tarian lain. Padahal bisa saja Pemda Lampung mendatangkan tarian Barongsai, Reog Ponorogo, drum band tradisional ala Bali dan kesenian daerah lain kan masih banyak!.
Begitu juga, saat menghadiri Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci di Jambi yang dulu sangat dielu-elukan wisatawan lokal. Tahun 2007, antusias masyarakat untuk menyaksikan pagelaran budaya daerah itu cukup tinggi. Selama sepekan berlangsung acara atraksi itu selalu dipadati pengunjung. Namun kata padat itu, untuk tahun 2008 jangan harap ada lagi.
Di sisi wisatawan nasional dan turis asing yang tak datang, ya karena promosinya nggak ada bagaimana bisa menarik kunjungan turis. Promosi, publikasi sekali dua kali itu jelas tak akan membekas, tak akan mengingatkan wisatawan. Apalagi promosi itu cuma dilakukan di tingkat daerah atau propinsi, maka jangan harap mendapat lebih.
Seharusnya, promosi itu dilakukan setahun sebelum atraksi wisata digelar kemudian dilanjutkan sebulan sekali dengan menampilan informasi berbeda tentang perkembangan atraksi wisata itu. Memang yang terjadi selama ini, sebulan sebelum atraksi wisata digelar panitia daerah sibuk tak jelas apa yang dikerjakan. Jadi bagaimana mencitpakan image event itu.
Terus terang, atraksi wisata itu mengeluarkan dana yang cukup besar. Sayangnya pengeluaran anggaran besar itu tidak diimbangi dengan feedback yang besar pula. Malah event atraksi wisata yang digelar saat ini terkesan hanya menghambur-hamburkan dana. Kalau ini yang terjadi, menyedihkan sekali.
Bagaimana di tingkat pusat, yakni Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang menangani, memonitor kemajuan pariwisata se Indonesia nampaknya juga kurang giat, kurang aktif, kurang peduli dalam ikut membantu promosi atraksi wisata di daerah. Kalau sudah demikian, bagaimana pariwisata Indonesia bisa maju? (endy)

Rabu, Desember 03, 2008

OMSET WISMAN KE JAKARTA ANJLOK


JUMLAH kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Ibukota Jakarta selama Oktober 2008 sebanyak 126.549 kunjungan atau mengalami peningkatan 22,15 persen dibandingkan September 2008. Sayangnya, kenaikan itu tidak dibarengi dengan kenaikan omzet pendapatan malah grafiknya anjlok hingga 20 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta mencatat peningkatan kedatangan turis asing yang masuk ke Jakarta melalui tiga pintu utama, seperti Bandara Soekarno Hatta, Pelabuhan Tanjung Priok, dan Bandara Halim Perdana Kusuma.
Peningkatan jumlah wisman terjadi karena kekuatan industri pariwisata seperti pusat pasar yang terkonsentrasi, faktor investasi asing, dan keamanan. Sayangnya kdibalik kenaikan ada penurunan hingga 20 persen. Hal ini terjadi akibat krisis global yang melanda dunia. Sehingga, berdampak pada mahalnya harga makanan dan minuman seperti wine (anggur)
Seperti wisatawan yang datang ke Jakarta paling banyak menikmati hiburan malam, spa, golf dan belanja. Setelah itu mereka berwisata ke Puncak, Bandung, Yogyakarta dan Bali. Sementara obyek wisata yang ada di ibukota seperti Monas, Ancol, Ragunan, Taman Mini jarang ada yang menyinggahi. (endy)

SUMBAWA, KAYA GEOWISATA MISKIN PROMOSI


TANPA dinyana ternyata Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki kekayaan geologi yang luar biasa. Potensi itu kini dikembangkan menjadi obyek wisata minat khusus, geowisata.
Nama geowisata memang masih asing di telinga penduduk Indonesia. Istilah kurang populer, kurang ngetop dibandingkan dengan ekowisata. Padahal di Amerika Serikat, geowisata identik dengan ekowisata.
Bahkan, belahan dunia lain geowisata ditempatkan sebagai bagian dari wisata alam minat khusus yang prinsipnya mengikuti kaedah-kaedah ekowisata dan geowisata, sebagai bagian dari ekowisata harus tunduk pada prinsip-prinsip berwisata yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Apalagi kecenderungan wisata kembali ke alam atau "back to nature" memberikan peluang pemberdayaan potensi fenomena alam geologi sebagai tujuan wisata alternatif. Dan Geowisata sebagai salah satu kegiatan wisata alam merupakan suatu konsep wisata yang ramah lingkungan, menyuguhkan pemahaman proses kebumian yang berhubungan dengan keunikan dan kelangkaan fenomena alam tersebut sebagai sebuah daya tarik wisata.
Memang penyelenggaraan wisata alam geologi ini memerlukan panduan, pengaturan dan pengawasan yang memadai untuk menjamin keselamatan, kenyamanan wisatawan dan keberlanjutan jenis geowisata ini.
Untuk menggapai itu, Sumbawa kini berjuang keras. Berbagai langkah ditempuh dengan start dari awal yakni melakukan inventarisasi. Hasilnya di Sumbawa terdapat 10 titik lokasi geologi yang memiliki potensi geowisata, yakni Pantai Batugong di Desa Labuan Badas, Kecamatan Badas dan air terjun Aikbeling di Dusun Kuangmo, Desa Sempe, Kecamatan Moyohulu.
Selain itu, geowisata perbukitan Tarakini di Desa Lenangguar, Kecamatan Ropang, Air Terjun Tebamurin di Dusun Brangrea, Desa Lenangguar, Kecamatan Ropang dan obyek wisata Liang (goa) Petang di Desa Batutering, Kecamatan Moyohulu.
Potenasi geologi lainnya adalah Pantai Tanjung Menangis di Dusun Omo, Desa Panyaring, Kecamatan Moyohilir, mataair panas di Dusun Simu, Desa Maronge, Kecamatan Lape Lopok, air terjun Mata Jitu di di Pulau Moyo, Goa Tanjung Pasir dan Goa Aik Manis.
Sayang, kekayaan Geowisata di Sumbawa belum bisa terangkap, dijual ke wisatawan mancanegara yang kini cenderung memegang prinsip berwisata 'back to nature'. Sayang, Pemda Sumbawa tidak punya dana cukup untuk promosi, publikasi apalagi membikin brosur dan menyebarkan ke kedutaan yang harus ada dana besar. Ibarat pepatah 'nafsu besar dana kurang' yang kini menyelimuti pariwisata Sumbawa.
Siapa yang mau membantu, siapa yang peduli. Ternyata teriakan iuni sudah diteriakan berulangkali. Sayang nggak ada yang dengar, termasuk pusat yang membawahi pariwisata. Menyedihkan memang. (Endy/foto : ist)