Kamis, Februari 19, 2009

PARIWISATA ACEH BERBENAH DARI CITRA

CITRA negatif sebagai daerah tak aman, daerah konflik sempat melekat. Dampaknya, pariwisata Aceh terpuruk. Grafik kunjungan wisatawan ke daerah dengan sebutan titik Kilometer nol Indonesia, benar-benar nol. Kondisi itu diperparah adanya bencana Tsunami, 26 Desember 2004 - yang meluluhlantakan roh kehidupan Aceh. Citra Aceh bertambah parah.
Ditambah lagi, dulu sempat mendapat julukan daftar hitam - sebagai destinasi yang tak layak dikunjungi, karena daerah itu berada di lempengan bumi penyebab Tsunami, juga isu turis wajib berjilbab dan sweeping KTP bagi mereka yang bukan beragama Islam. Isu seperti ini sengaja dibangun pihak tertentu demi kepentingan politik tertentu. Dan pihak tertentu menginginkan Aceh tidak dimasuki wisatawan asing sehingga kasus pelanggaran HAM, ketidakadilan, kasus lain tetap tertutup bagi dunia internasional.
Kini, pemerintah provinsi Aceh bersama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) berupaya bangkit dari keterpurukan, dari isu tak jelas sumbernya. Aceh berbenah diri menghilangkan citra buruk. Menggaungkan suara, mengibarkan bendera dan membuka mata dunia bahwa Aceh sebagai destinasi yang layak dan aman untuk dikunjungi. Bahkan menjamin tak ada gangguan dari pengacau keamanan. Situasi damai pasca lahirnya MoU Pemerintah RI-GAM, 15 Agustus 2005, begitu terasa saat ini. Aman, nyaman, damai dan kesan semrawut sudah tak ada lagi.
"Saya yang jamin kalau semua daerah di Aceh aman. Saya ini mantan petinggi GAM. Kami sesama anggota GAM bertekad menjaga Aceh dari gangguan keamanan. Juga bertekad memajukan pembangunan Aceh, termasuk pariwisata. Kami ingin memberdayakan potensi wisata di Aceh yang melimpah, yang selama ini terpendam, belum pernah dipromosikan," ucap Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Irwandi Yusuf meyakinkan wartawan Depbudpar yang melakukan kunjungan wisata ke Aceh, pekan lalu.
Melimpah? Ternyata, kenyataan memang demikian. Aceh memiliki sederetan daftar wisata pantai yang mempesona dan menjadi andalannya. Pantai Dakuta, Pantai Meuraksa Pantai 14,5 7,0 Meraksa Syamt. Bayu, Pantai Iboih, Pantai Klah, Pantai Ulee Lheue dan Pantai Lhoknga, kedua pantai ini namanya jadi perguncingan dunia karena sebagai pantai yang berhadapan langsung dengan laut lepas yang menjadi sumber utama datangnya tsunami. Namun demikian, kedua pantai ini masih indah dilihat, bahkan tertata secara alami. Bahkan, pantai Ulee Lheue punya sejarah panjang, saat Belanda datang melalui pantai, mencaplok tanah rakyat dan menyatakan perang dengan rakyat Aceh.
Wisata alam di Aceh juga alami. Ada air terjun Seumirah, pemandian alam Kr. sawang juga Pusat Latihan Gajah (PLG). Juga ada wisata sejarah yang masih terpelihara. Wisatawan dapat menikmati peninggalan rumah Cut Meutia, pahlawan wanita dari Aceh, dan makam para penjajah Belanda yang tertata rapi dengan papan nama orang Belanda yang tewas di Aceh pada masa perjuangan Indonesia. Juga ada kompleks Makam Raja Muhammad, Makam Raja Syuhada Cot plieng, Makam Malikussaleh Dan Keluarga Dan Perdana Menteri, Makam Ratu AL-A'la Binti Malikul Dhahir, yang menunjukkan bahwa Aceh pernah memiliki kerajaan Islam yang besar di tanah air ini.
Di sisi lain, Aceh memiliki wisata bahari yang terpendam. Tenggok Pulau Rubiah di Sabang yang memiliki pemandangan yang menawan. Bahkan Pulau ini disebut-sebut sebagai Balinya Aceh. Malah lebih dari Bali, karena lingkungan alamnya masih perawan, lautnya sangat tenang sehingga sangat cocok untuk diving, snorkling, swiming dan fishing. Wisata bahari lainnya, Ujung Kareung yang memiliki pemandangan laut yang superindah. Sayanyam masih minim fasilitas sehingga wisatawan harus pindah menginap di Gapang atau Iboh, yang juga mengandalkan wisata pantai.
Wisata budaya Aceh juga unik, menarik. Kota tanah Rencong ini memiliki tarian budaya yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia, yakni tarian Saman, tarian Seudati dan tari Mesuseukat. Apalagi pakaian Aceh yang khas dan senjata Rencong juga menjadi souvenir yang memikat. Bahkan, Wisata relegi, rohani, spiritual yang kuat dan melekat. Dan Mesjid Raya Baiturrahman. "Jika ke Banda Aceh, belum masuk dan shalat di mesjid ini tentu belum afdhol," kata Aulia Husni Putra, pejabat di Pemprov NAD.
Daya tarik wisata lainnya, sisa-sisa keganasan Tsunami kini menjadi primadona obyek wisata baru, yang menarik untuk dikunjungi. Untuk mendatangi objek wisata peninggalan tsunami yang ada di seputaran pantai Banda Aceh ini, cukup mudah. Wisatawan bisa menyewa taksi, atau jika ingin menghemat biaya bisa naik becak motor yang menjadi kendaraan angkutan khas Banda Aceh.
Obyek wisata itu, Masjid Ulee Lheue yang masih utuh digempur tsunami. Kapal PLTD Apung yang terdorong ke daratan dan sampai kini masih berada di atas rumah penduduk Gampong Punge Blang Cut, jaraknya sejauh 4 Km dari Pelabuhan Ulee Lheue. Di kapal apung yang sudah tidak difungsikan ini, wisatawan bisa naik ke atas geladak setinggi lebih kurang 20 meter, karena di sisi tongkang sudah dibuat tangga besi lengkap dengan pagar hingga ke geladak untuk memudahkan wisatawan menaikinya.
Dari atas geladak kapal, wisatawan bisa menyaksikan pemandangan luas ke berbagai belahan kota di Banda Aceh. Tampak jelas, betapa jauhnya jarak pantai dengan lokasi kapal apung terdampar. Wisatawan juga bisa membayangkan betapa berbahayanya gelombang tsunami. Bahkan, di sekitar kapal terdampar di atap rumah ini, masih terlihat jelas sisa-sisa dinding dan atap bangunan milik warga yang hancur diterjang gelombang dasyat.
Kapal nelayan di atas rumah sisa tsunami lainnya yang juga banyak dikunjungi yakni kapal di atas rumah yang berlokasi di Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam. Wisatawan bisa menyaksikan akibat dari gelombang tsunami yang melanda daerah itu. Kapal nelayan yang pada awalnya ditambatkan di dermaga pantai Aceh, terbawa arus hingga lebih kurang tiga kilometer ke daratan. Sewaktu terjadi tsunami, 165 orang selamat dari terjangan gelombang karena menyelamatkan diri ke atas kapal. Kini, di depan rumah tempat kapal ini bertengger sudah dibangun sebuah jembatan layang agar wisatawan bisa menyaksikan dari dekat kondisi kapal nelayan.
Juga ada Monumen Tsunami dibangun di atas lahan seluas 7,8 hektare, yang lokasinya di pinggir Jalan Banda Aceh-Meulaboh, Aceh Barat. Monumen ini memiliki struktur khas, tinggi dan besar, bentuk ukuran tugu mengikuti pola angka "26-12-2004". Angka 26 menunjukkan banyaknya garis lengkung di dasar tugu, 12 adalah banyaknya ombak pada tugu, dan 2004, banyaknya riak kecil dari keseluruhan ombak pada tugu.
Dan yang tak kalah menariknya, ada kuburan massal Meuraxa dan Labaru yang mengubur sedikitnya 46.800 jenazah korban tsunami. Lokasi kuburan yang menjdi saksi bisu tsunami ini sekitar enam kilometer dari pusat kota Banda Aceh atau beberapa ratus meter dari bibir Pantai Ulle Lheue. Inilah destinasi yang paling menyayat hati.
Negeri Serambi Mekkah juga akan mengembangkan wisata gerilya. Beberapa lokasi menarik bekas perjalanan para gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dijual ke wisatawan. Selama turis bergerilya akan menikmati panorama pemandangan alam yang indah. Gua-gua tempat persembunyian gerilyawan yang masih terpelihara. Menerobos hutan rimba yang menakjubkan. Menyusuri sungai yang alami. Dan menyaksian pohon buah-buahan, yang selama konflik dipakai sebagai menu pengisi perut bagi para gerilyawan
''Saya harapkan tahun ini, wisata gerilya sudah mulai dibuka untuk wisatawan. Wisata gerilya juga dikembangkan di daerah-daerah di Aceh, dan akan menjadi wisata unggulan. Karena wisatawan pasti akan tertarik sekaligus akan merasakan masa-masa sulit yang terjadi pada masa lalu,'' ungkap Gubernur bertitel dokter dan terampil menerbangkan pesawat terbang.
Mengembangkan wisata gerilya tidak malah membuat wisatawan takut? ''Saya jamin pasti aman. Tidak perlu ada rasa takut bagi wisatawan untuk datang. Aceh sekarang bukan Aceh yang dulu. Kini sudah berubah total seratus delapan puluh derajat, tak percaya buktikan saja,'' tambah Gubernur serius sambil membutikan di Aceh sejak musibah tsunami kini masih ada 7.000 relawan (NGO) dari 150 negara yang membantu rakyat Aceh, dan mereka aman-aman saja.
Keberadaan relawan asing diharapkan menjadi duta promosi gratis bagi pariwisata Aceh. Harapan ini memang tak berlebihan, mengingat mereka sudah paham, tahu kondisi dan potensi pariwisata di Aceh. Juga, sudah mengetahui adat istidat, budaya, sopan santun dan rasa hormat warga Aceh saat menerima tamu dari negara lain.
Memang pariwisata Aceh bangkit, namun sayang kebangkitan itu masih terganjal dengan lemahnya promosi, dan penyampaian informasi yang terbatas karena anggaran untuk itu sangat kecil. Hambatan lainnya, masih adanya larangan orang asing mengunjungi Aceh berdasarkan peraturan darurat militer yang dibuat tahun 2003, yang hingga kini belum dicabut. Sehingga orang mengira Aceh masih tidak aman. Padahal Aceh sekarang sudah pulih, sudah damai.
Persoalan lain, perlunya penerbangan pesawat asing langsung ke Aceh. Dan penambahan jumlah penerbangan nasional dari penjuru kota besar untuk menyinggahi Aceh. Untuk itu, regulasi atau izin dari pemerintah pusat agar memberikan kebebasan, jangan malah memasungnya. Sebuah kata harapan klasik, jika promosi dan izin penerbangan langsung ke Aceh dibuka, jumlah kunjungan wisatawan ke Aceh pasti grafiknya naik. Namun kapan? (endy/TULISAN INI JUGA SAYA MUAT DI AVIASI, TABLOID PENERBANGAN)

Tidak ada komentar: